Memanggil yang Tak Tergapai
“Saudara-saudaraku”, kata
Abdullah Ibn Rawahah, “Sesungguhnya apa yang tidak kalian sukai ini justru
merupakan tujuan dan cita-cita keberangkatan kita. tidakkah kalian merindukan
mati syahid? Kita memerangi musuh bukan mengandalkan senjata, kekuatan, ataupun
banyaknya jumlah bilangan. Kita memerangi mereka hanyasnya mengandalkan agama
ini, yang Allah telah muliakan kita kareanya. Maka dari itu, majulah dengan
barakah Allah! Kita pasti memperoleh satu di antara dua kebaikan; menang atau
syahid!!”
Lalu, semua orang menyorakkan takbir.
Tanpa peduli, dengan jumlah
mereka bila dibandingkan dengan jumlah pasukan Romawi. Bisa kau bayangkan, 3000
lawan 200.000 orang!
Benturan pertama peradaban
Madinah dengan Romawi ini diwarnai kisah-kisah agung gugurnya para panglima. Zaid
bin Haritsah merangsek ke tengah musuh membawa bendera Rasulullah hingga
puluhan tombak menyapa tubuhnya, memintanya untuk berhenti. Dan ruhnya disambut
ranjang surga. Ja’far meraih bendera itu memegangnya denan tangan kanan hingga
lengannya lepas, mendahuluinya ke surga menjadi sayap berwarna hijau yang kelak
dipakainya terbang kemanapun ia suka. Lalu dipegangnya dengan tangan kiri, dan
tangan itu pun putus. Lalu didekapnya bendera itu di dadanya hingga seorang
prajurit Romawi membelah tubuhnya. Maka Ja’far segera terbang di surga.
“Jika kau ikuti kedua pahlawan
itu”, gumam sang panglima ketiga, “ Kau akan mendapat petunjuk,” Tapi bersitan
keraguan masih meraja di hatinya. Akankah pertempuran ini diteruskan sementara
korban yang jatuh dari kaum muslimin telah demikian banyak? Hanya dalam
beberapa saat dua panglimanya memenuhi janji pada Allah untuk mati membela
agama-Nya. Oh, dia sungguh ragu. Tidakkah ini semua tersia? Tapi tidak. Dia juga
sudah dekat dengan cita-citanya. Pasukan ini milik Allah, kepadaNya-lah ia
titipkan jika telah tiba saat baginya untuk menyusul kedua sahabatnya. Maka dia
ingatkan kembali sang diri akan cita-citanya. Syairnya diteriakkan lantang. Biarlah
jiwanya yang di dalam dada menyimak. Biarlah tiap makhluq jadi saksi.
Kenapa kulihat engkau tak
menyukai surga..
Bukankah telah sekian lama kau
tunggu ia dalam cita?
Bukankah kau ini ta lebih dari
setetes nuthfah yang ditumpah?
Maka, Abdullah bin Rawahah pun
syahid, menjemput cita-cita tertingginya..
Tetapi, inilah uniknya jalan cinta
para pejuang..
Ketika citamu tinggi, angin akan
lebih dingin, menusuk-nusuk tulang, membekukan darah...
Shadaqta, Ya Ustadz..
Semakin tinggi cita
Semakin mulia ia
Semakin berat pula, perjalanan
meraihnya
Semakin beragam, semakin beraneka
rupa aral rintangannya
Kisah Perang Mu’tah yang saya
tulis ulang di atas, saya kutip dari Buku Jalan Cinta Para Pejuang yang ditulis
oleh Ust. Salim A Fillah. Kisah yang sungguh menggetarkan, membuat sesenggukan.
Mengingatkan dan menampar-nampar saya sejenak,
Bahwa menjaga komitmen kita
kepada Allah itu sunggu berat.
Tapi, balasan yang ditawarkan
atas kesungguhan pun bukannya tak menggiurkan.
Ini memang hanya tentang bagaimana
kita bertahan.
Daya tahan. Imunitas. Istiqomah.
Comments
Post a Comment