Fokus

"Ternyata kita memang harus fokus, kalo mau sampai di sebuah tujuan." Aria membuka pembicaraan.

Sementara Nawara tergopoh-gopoh mengiringi langkah kaki Aria yang begitu cepat. Maklum, kaki Aria memang lebih panjang dari miliknya.

Nawara berhasil menyejajari langkah Aria, dengan sedikit terengah-engah.

"Maksudmu?"

"Aku membuktikannya sendiri tadi,"

Nawara tak menyela, ia yakin ucapan sahabat karibnya itu masih akan berlanjut

.

"Kau tau kan, aku tak bisa melihat dengan baik tanpa kacamata. Penglihatanku buyar, kabur. Namun, aku pun tak nyaman memakainya saat sholat,"

"Aku sulit untuk khusyuk di sholat tarawih tadi, Naw. Kepalaku pusing. Saat menatap tempat sujud yang semuanya terlihat seperti goresan-goresan tinta lukisan tak jelas, aku kehilangan konsentrasi, dan mengantuk. Payah."

"Pada raka'at ketiga, aku mencoba untuk memusatkan pandanganku pada satu titik di tempat sujudku. Entah itu titik apa, karena tak begitu jelas terlihat olehku. Cukup sulit, memang. Kadang ada godaan untuk menatap ke tempat lain. Tapi aku memaksa diriku untuk tetap menatap ke titik itu. Jika tidak, maka aku akan kehilangan konsentrasi seperti tadi. Dan aku berhasil. Untuk mencapai derajat khusyuk mungkin memang belum. Setidaknya, aku tak mengantuk."

"Mungkin kita harus seperti itu dalam mencapai tujuan-tujuan kita ya, Naw. Fokus dan tak melirik ke tempat lain. Jika tidak, maka konsentrasi kita dalam mencapai tujuan akan buyar. Habis total. Bahkan capaian minimalnya pun tak kan sampai."

Nawara mengangguk-anggukkan kepala. Mengapresiasi. Ia tak merasa perlu memberikan tanggapan.

"Sampai jumpa besok ya, Naw. Aku ke rumahmu lagi jam 7 malam, insya Allah. Jangan mendahuluiku, pokoknya kita harus sama-sama lagi jalan ke Masjidnya."

Nawara tersenyum dan mengacungkan jempol kanannya.

Comments

Popular posts from this blog

Pengalaman Menyapih Empeng Anak

girls

fabulous science 4