kadang kita perlu memaksakan diri, Fa..

Hujan.

Satu lagi alasan yang dapat kukemukakan untuk tidak berangkat. Hujan. Well, bukan hujan lebat sebenarnya. Hanya gerimis.

Ya, gerimis. Sudah cukup kan?

“Fahira mau berangkat jam berapa?”

Perhatianku teralihkan dari hujan oleh pertanyaan kakak tingkatku yang polos itu.

Aku diam. Ingin rasanya izin. Lagi. Rasa malas itu begitu hebat. Membuatku enggan melakukan apa pun. Tapi, wajah kakak ku itu..

Ah, baiklah, kali ini aku berangkat.

“Bentar lagi, Kak. Aku ganti baju dulu ya.”

Aku melangkahkan kaki dengan gontai. Disebelahku? Sebaliknya. Langkahnya begitu besemangat. Dengan senyum mengembang hangat, langkahnya cepat-cepat, ingin sampai tujuan. Ah, Kak Nayla, mengapa kau begitu berbeda?

Semakin dekat, dan aku semakin enggan. Entah mengapa, hari ini hari yang suram bagiku. Sebabnya? Entahlah. Aku sering gelisah tanpa sebab. Dan itu seringkali berimbas pada semuanya. Mood ku? Jangan ditanya.

Hei! Jangan anggap aku anak labil! Aku yakin kau pun sering begitu. Mengaku sajalah!

Ujianku kacau. Kukira nilaiku ak—

“Kak Fahiraaaaaaaaaaaaa!”

Tersentak aku dibuatnya. Lengkingan itu, darimana asalnya?

Aku menengok ke belakang. Seorang gadis mungil berlari-lari kecil dengan baju pink panjang plus kerudung warna senada. Lengkap . Manis sekali.

Pikiranku tentang ujian teralihkan untuk sesaat. Gadis itu semakin dekat dan mengurangi kecepatan berlarinya. Diciumnya tanganku dan diucapkannya salam dengan riang

“Assalamualaikum Kak Fahira..”

Lalu satu, dua , tiga anak berdatangan. Mengerumuni aku dan Kakakku. Semuanya meraih tangan kami dan menciumnya. Ucapan salam bersahut-sahutan. Mereka, memaksaku untuk tersenyum.

“Kak Fahira kemarin kemana? Kok ga dateng?”

“Iya kak, Kak Nayla kemaren sendirian..”

Tersenyum, aku mencoba menjawab celotehan mereka

“Kakak lagi ujian dek, maaf ya..”

“Loh Kak Nayla kan ujian juga kak, tapi tetep ngajarin kita..”

Jleb. Mati kutu.

“Sudah-sudah, yuk ke rumah bambu..” Kak Nayla menangkap ketidaknyamananku. Dengan pintar ia alihkan perhatian anak-anak kecil ini.

Kami melangkah beriringan menuju rumah bambu, rumah yang dibuat oleh pendahulu-pendahulu di kampus kami yang begitu peduli pada nasib anak-anak ini.

Tanganku menggandeng dua tangan mungil yang terkadang bergelayutan, membuatku harus memelankan langkahku untuk mengimbangi langkah anak-anak ini. Saling bercanda. Tendang-tendangan. Lempar-lemparan sandal. Pukul-pukulan. Brutal juga anak-anak ini. Alhamdulillah, ibuku tak mengajariku untuk seperti ini saat kecil.

“Ayo ini huruf apa?”

Gadis berambut kuncir buntut kuda itu mengernyit, mencoba mengingat-ingat. Namun tampaknya tak berhasil. Ia menyerah dan diam. Memilih untuk menerima jawaban dari mulutku yang tak sabaran.

“Waw, dek. Ini waw. Coba diulang”

“Wawjuuhuyyauma—“

“Kok wawju?”

“Katanya waw?”

“Iya, tapi kan ada dhomahnya, jadnya wuuuu”

Aku memonyongkan bibirku, yang lag-lagi ditirunya, ia lebih-lebihkan malah, bibirnya ia goyangkan ke kanan dan kiri, sambil terus memonyongkannya. Kini, ‘wuu’ itu terdengar seperti suara vacuum cleaner. Tak bisa tidak, aku cekikikan. Aku mencubit pipinya dengan gemas. Kami tertawa bersama. Dasar anak-anak..

Begitulah. Moodku dengan cepat berubah. Aneh juga.

Proses pembelajaran hampir usai. Satu persatu dari mereka pamit pulang. Aku dan Kak Nayla pun sudah hampir pulang ketika ada satu anak yang berlarian menujuku. Dengan terengah-engah ia meminta maaf karena datang terlambat.

“Maaf, kak. Abis nyari..”

“Nyari? Nyari apa?” aku yang tak mengerti, menoleh kea rah Kak Nayla, meminta penjelasan. Tapi ia hanya mengulas senyum.

“Budi mau ngaji?”

Ia mengangguk bersemangat. Jadilah aku, menunggui Kak Nayla mengajari Budi terlebih dahulu...

….

“Nyari, nyari apa sih kak?”

Aku penasaran, kucecar terus kakak disampingku ini

“Nyari itu..” Kak Nayla menghela nafas sejenak

“Mulung loh, Fa. Mereka biasa mulung, pulang sekolah..” seulas senyum itu lagi, kali ini berbeda, senyum kemirisan.

Aku terdiam. Mulung? Sekecil itu? Bahkan Budi tak lebih tua dari seorang anak kelas 3 SD!

Aku memutar balik kenanganku saat kecil. Begitu mudahnya aku menjalani kehidupan saat itu. Semua tersedia dengan apik. Orang tua yang lembut hatinya. Lingkungan yang baik. Sekolah yang juga baik.

Apa yang kulakukan saat aku seusia mereka, tak ayal, bermain.

Aku bermain saat itu, bukan memulung.

Aku bermain saat itu, bukan mengemis.

Aku bermain saat itu, bukan mengamen.

Dan mereka..mereka..

“Aku minta maaf kak..” kata-kata itu keluar begitu saja, hampir tanpa sadar.

“Untuk?”

“Komitmen palsuku..”

Aku malu. Sangat malu. Terutama pada kakakku ini, yang begitu tulus meluangkan waktunya untuk tak hanya sekadar mengajar mengaji mereka, tetapi juga memerhatikan kebutuhan mereka, mendaftarkan mereka ke sekolah, menjenguk dan merawat mereka saat sakit. Sungguh sebuah ketulusan yang patut diacungi jempol.

“Terkadang, untuk sebuah kebaikan, kita perlu memaksa diri, Fa..”

Teruskan, Kak. Aku ingin mendengar.

“Betapa banyak orang yang perlahan mundur dan menjauh dari ladang ini. Terantuk berbagai macam alasan. Maka kita patut bersyukur,ketika Allah masih meringankan kaki kita untuk melangkah.”

Ringan? Kakiku justru berat pada awalnya, Kak!

“Kalau dipikir, memang tak ada untung materi yang kita dapat. Justru mungkin sebaliknya…”

“Lelah sedari kuliah, ditambah sikap mereka yang terkadang nakal dan membuat kesal, mungkin justru akan semakin menaikkan tensi darah kita..”

“Tapi coba renungkan, kita bukan tak hanya mengajar, Fa. Kita justru belajar banyak. Tentang arti sebuah keikhlasan—ketika yang kita lakukan tak diketahui orang, tak sadarkah kau betapa indahnya itu? Ketika yang kita dapatkan tak didapatkan adik-adik kecil ini—yang notabenenya sama-sama anak kecil, seperti kita dulu.”

“Rasa syukur itu, darimana lagi akan kita dapatkan, bila kita tak dekat dengan mereka?tak bergaul dengan mereka? Bukankah Rasululullah sendiri sangat dekat dan sangat mencintai orang-orang miskin?”

Aku merasa ada sentuhan yang mengelus lembut hatiku.

“Mereka mengharapkan kita, Fa. Kita pun membutuhkan mereka. “

Tangan lembut Kak Nayla mendarat di bahuku, menepuknya ringan.

“Jangan pernah berhenti. Ini ladang amal, Fa. Bekal akhirat. Paksakan saja, nanti akan terbiasa.”

Aku gerimis. Menggantikan gerimis sore yang sempat terhenti..



Aboru, 1 Mei 2011

00:16

SAZ

Aku tak ingin berhenti..


Comments

Popular posts from this blog

Pengalaman Menyapih Empeng Anak

girls

fabulous science 4